Pentingnya Kejelasan Posisi Menjadi Muslim Sebelum Menjadi Warga Negara



Ada persoalan yang amat penting, namun sering kita abaikan. Suatu hal yang sebenarnya menjadi subtansial nilainya tetapi mendadak menjadi kabur nilainya di negeri ini. Negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim merupakan sebuah keberuntungan. Meski tidak bisa dipastikan, namun seharusnya segala sistem yang berjalan dan tatanan yang berlaku akan menghasilkan keamanan dan maslahat bagi semua orang. 

Persoalan penting yang saya maksud ialah posisi kita sebagai muslim, umat Nabi Muhamad, pengikut ajaran-ajarannya. Suatu posisi yang tak bisa diganti dengan apapun. Keutamaan menjadi umatnya merupakan sebuah hal yang tak terbantahkan. Pentingnya posisi kita sebagai Muslim menjadi hal yang harus kita letakkan melebihi apapun. Maksudnya, bukan membanggakan diri atau takabur. Akan tetapi posisi Muslim itu mewajibkan kita memiliki hubungan baik dengan Nabi Muhamad dan seluruh pengikutnya, sebab masih satu golongan kita sebagai umat Nabi Muhamad. Posisi ini tidak bisa digantikan secara utuh dengan hanya kita menjadi warga negara. Dalam kata lain, posisi sebagai warga negara tidak bisa membatalkan ke-Islaman kita. Dari sinilah pandangan pijakan dimulai. Bahwa kita sebagai Muslim dulu baru warga negara.

Pahamnya kita terhadap posisi itu menjadikan langkah kita menjadi jelas. Segala sesuatu yang berhubungan dengan ke-Islaman kita menjadi utama. Sebab posisi kita sebagai warga negara tentu bukan idenya Allah secara langsung. Berbeda dengan Islam yang Allah sendiri sebagai kreator penciptanya, Allah sendiri yang menginisiasi ajaran ini dan Allah sendiri pula yang menunjukkan bahwa sesuatu yang baik dan lurus (Islam) sudah jelas. 

Sayangnya problem di negeri ini, posisi itu dibenturkan atau malah dijungkir balikkan. Orang-orang ramai meyakinkan bahwa kedaulatan negara berhak terwujud, keutuhan bangsa menjadi wajib dengan membenturkan ukhuwwah Islam, sebuah persaudaraan sesama umat Nabi Muhamad. Meski hal ini tidak disadari secara utuh, faktanya berjalan dengan demikian. 

Apapun masalah yang terjadi di negeri ini selalu tentang satu kelompok dengan kelompok lain yang mirisnya itu sesama saudara muslim, satu umat dalam naungan Nabi Muhammad. 
Peristiwa-peristiwa pembenturan semacam itu berlangsung secara terus dan berkesinambungan. Tidak pernah bersama-sama memikirkan bahwa kita semua adalah satu umat Muhammad yang sudah menjalani sumpah setia penyaksian syahadat bahwa Nabi Muhammad ialah utusan Allah. Tidak pantas dan tidak elok kalau sampai perpecahan terjadi meski perbedaan memang selalu ada. 

Jangankan yang berbeda Negara seperti kasus Palestina. Satu Negara saja alih-alih mendukung dan bersama-sama memikul tanggung jawab seakan berat. Padahal ada dua hal yang menyatukan, yakni satu umat Muhammad sebagai Islam dan satu warga negara. Justru di negeri ini yang demikian menjadi tumpang tindih seakan-akan berebut negara. Saling menguasai seakan-akan negara itu tujuan. Padahal jelas, dalam konsep perjodohan Allah tidak ada kata bernegara. Yang ada hanya laki-laki dan perempuan, masyakarat, sosial, alam dsb. Hanya kreativitas manusia sendirilah yang menjadikan bahwa seakan-akan adanya negara ini wajib harus dibentuk. 

Sejatinya umat Islam di seluruh dunia adalah satu ikatan. Suatu penopang antara satu dan yang lainnya. Tidak terpisah dan bercerai-berai. Meski berbagai pandangan tentang praktik keagamaan itu bisa beragam.

Posisi kita sebagai warga negara tentu tidak bisa melebihi posisi kita sebagai muslim yang bersaudara satu sama lain. Namun anehnya, negara mereduksi persaudaraan tentang Islam itu. Seolah-olah kalau Islamnya Turki dan Indonesia itu berbeda, Islamnya orang Eropa dengan Indonesia itu berbeda, dan Islamnya Arab sendiri sebagai asal muasal Islam juga dianggap berbeda. Perbedaan hanya pada pemahaman syariat saja, sedang substansi dari agama Islam tetaplah sama. Banyak sekali yang saling mengklaim bahwa Islam(di negeri) kita inilah yang seperti Nabi Muhammad. Kontekstual dan mencocoki zaman. 
Kepahaman terhadap posisi kita itulah yang harus mulai dicermati. Bahwa posisi kita sebagai Muslim yang bersaudara di belahan dunia ini lebih tinggi dari posisi kita sebagai warga negara dengan tanpa menafikan atau memojokkan ketidak pentingan sebagai warga negara. 


Wisnu Prayuda 
Semarang, 14 Juli 2020.

Komentar

Postingan Populer