Budaya Mudik; Pemantik Kesadaran Asal Muasal Manusia

Firman Allah dalam penggalan surat Al-Baqarah ayat 185 menjadi pengantar bagi manusia untuk menempuh kesadaran lebaran.

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ ۝١٨٥

Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur. (Al-Baqarah 185)

Ramadhan sebuah  bulan yang di dalamnya penuh keutamaan, sebentar lagi akan berakhir. Kesempatan mulia itu tinggal menghitung hari. Mari tanyakan pada diri apakah sudah sedemikian sungguh-sungguh menjalani ramadhan kali ini?. 

Setelah kita diberi kesempatan oleh Allah selama kurang lebih tiga puluh hari, kita akan menjumpai sebuah kemenangan. Ramadhan adalah sebuah bulan pendidikan, bagaimana kita mengendalikan nafsu diri, mengecilkan ego dan bagaimana membesarkan keyakinan kita kepada Allah. 

Namun, apa artinya kemenangan kalau kita tak menjalani peperangan ini dengan sebaik-baiknya. Tidak bisa dikatakan sebagai pemenang kalau kita tidak menjalani proses ramadhan dengan sungguh-sungguh. Lebaran yang berarti kemenangan itu sesungguhnya hanya milik mereka yang berhasil mendidik diri mereka, melepaskan belenggu keburukan menuju kepada cahaya kebaikan. 

Dalam kebudayaan Indonesia, dalam nuansa kemenangan itu kita mengenal istilah mudik. Banyak sekali orang melakukan ritual mudik ke kampung halaman. Mudik menunjukkan bahwa sejatinya setiap kita memiliki asal muasal. Manusia tentu memiliki asal atau sangkan paraning dumadi. Mudik mengajarkan kita untuk memiliki kesadaran bahwa kita memiliki sangkan paraning dumadi, bahwa asal muasal kita adalah Allah dan kepada Allah lah kita semua akan kembali. Oleh karenanya di kalimat istirja' saat ada orang yang meninggal atau kembali kepada Allah menggunakan kata : 

 إنا لله وإنا إليه راجعون 

"Sesungguhnya kami itu milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Allah SWT".

Lebaran idul Fitri dengan budaya mudiknya mengajarkan kepada kita bahwasanya manusia pada asalnya adalah penduduk surganya Allah, yang kemudian di beri kesempatan oleh Allah untuk menghamba kepada-Nya. Di dunia ini seharusnya manusia sungguh-sungguh menjalani pengabdian kepada Allah bukan malah tersihir dengan keindahan tipu daya dunia yang bisa melalaikan kita bahwa asal muasal kita adalah surganya Allah. Maka, sejauh apapun perjalanan kita di dunia ini seharusnya mudik kita di akhirat nanti adalah menuju surganya Allah, itu berarti kita harus senantiasa mengingat Allah dalam setiap waktu, baik lapang maupun sempit. 

Kalau kita memiliki kesadaran sangkan paraning dumadi bahwa kita itu minallah ilallah (dari Allah dan akan menuju Allah) maka tak akan pernah kita menyiakan kesempatan hidup untuk mengabdi kepada Allah dengan sebaik-baiknya. Kalau dengan manusia saja kita bisa mengabdi sedemikian baiknya, mengapa kepada Allah yang memberikan, menjamin dan mencukupi seluruh hajat hidup,  kita malah tidak bisa melakukan pengabdian sebaik-baiknya? Sebuah pertanyaan besar yang bisa menjadi perenungan bagi kita.

Oleh karenanya, Mari jadikan momentum berakhirnya ramadhan ini dengan renungan kesadaran menyambut lebaran. Mudah-mudahan Allah jaga kita, dan memberikan kita kesempatan di ramadhan-ramadhan berikutnya. 

Ingatlah Hanya Allah yang bisa menolong kita, hanya Allah yang bisa menyampaikan kepada hajat-hajat kita dan hanya Allah-lah yang layak dan wajib menjadi tempat bergantung. Maka besarkan dan agungkanlah Allah dalam setiap kesempatan hidup kita. 



Wisnu Prayuda 

Semarang, 4 April 2024

Komentar

Postingan Populer