Liqoun Adzim di Lobi Raden Fatah
Malam yang tak terduga. Sebuah liqoun adzim. Allah memperjalankan kami berdua untuk masuk ke ruang rindu. Malam hari dapat kabar bahwa Abah ke Semarang, usai selesai pengajian kampung saya langsung bergegas menemui Abah di lobi hotel kawasan kota lama. Di dalam Abah sudah menunggu sembari mempersiapkan ruang rindu itu. Lobi yang tidak begitu luas, namun tenang dan memanjakan. Dua kursi rotan berjejer dengan meja di tengahnya. Ornamen-ornamen khas lobi hotel dengan ruangan yang teduh.
Kami duduk di kursi itu, setelah sebelumnya berpeluk erat sambil membaca sholawat. Merupakan sebuah ritual Abah kiranya setiap bertemu dengan siapapun memeluk dan membaca sholawat, semacam doa bagi tamu atau orang lain. Sembari menunggu kopi yang sedang di seduh kami berbincang soal kesibukan akhir-akhir ini, aktivitas apa saja yang sedang di kerjakan. Tentu saya selalu berkabar perihal santri-santri Futuwwah dan kajian-kajian yang saya ampu, utamanya Kajian Bidayatul Hidayah setiap Selasa dan Kamis.
Dari perbincangan awal mengenai kitab Bidayatul Hidayah itu kami membahas laku hidup di dalam kitab tersebut. Kitab yang ringkas, pengamalan sehari-hari namun banyak yang belum bisa mengamalkan. Bidayatul Hidayah itu sebuah pedoman dan tuntunan hidup dari penulisnya yakni Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali yang tentu hasil pengamalan dari Al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
Kopi pun datang menghangatkan perbincangan. Hampir satu jam berlalu kami asyik masyuk dalam perbincangan itu. Posisi saya tentu nadah ilmu, meskipun juga banyak bicara di depan Abah, sebab sudah saking dekatnya kami. Kalau ketemu Abah pasti cerita panjang lebar soal ini itu. Sambil menikmati kopi, kami berbincang soal tradisi keilmuan dan tasawuf. Di zaman yang sekarang ini menjamur amalan-amalan hidup dengan contoh-contoh pencapaiannya. Bukannya tidak boleh, hanya saja kurang arif apabila pada nantinya manusia hanya akan berfokus pada hasil bukan Allah sebagai tujuan atau kenikmatan bermunajat kepada Allah. Kalau segala sesuatunya selalu dikabulkan oleh Allah, kita kehilangan nikmat agung berupa keintiman bermunajat.
Waktu semakin berjalan mendekati tengah malam. Saya sadar, Abah harus istirahat untuk melanjutkan perjalanannya besok berkeliling Semarang. Tentu berbincang sampai larut malam di lobi hotel juga akan menggangu yang lainnya. Terpaksa perbincangan kami akhiri. Seperti biasa Abah selalu menanyakan kabar teman-teman semua satu persatu. Perhatian yang tak pernah tertinggalkan kala bertemu menanyai murid dan teman-temannya satu persatu. Malam yang sungguh indah. Perbincangan yang selalu utuh dengan ilmu.
Semarang, 2 Agustus 2024
Wisnu Prayuda
Komentar
Posting Komentar